LUBUKLINGGAU- Terkait masa pendemo seruduk kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Lubuklinggah yang menuntut untuk Klasifikasi masalah kejelasan tanah Masjid Baitul A’la di Kelurahan Moneng Sepati, Kecamatan Lubuklinggau Selatan II, Senin (6/1).
Maka Kepala BPN Kota Lubuklinggau Buchori angkat bicara dan membanta bahwa tanah itu bukan milik negara, namun milik Masjid Baitul A’la. Bahwa sudah jelas pada SK pada 1985, SK itu tertulis untuk Masjid Baitul A’la. Makanya ditrbitkan nama Nazir dan wakipnya adalah Pemda pada 1985 itu, yang sudah 34 tahun tanah tersebut tidak bersertifikat dan tidak jelas status haknya.
“Makanya kita memberikan dalam program PTSL, disitu sangat jelas sekali,” Kata Buchori.
Jadi saat diterbitkan sertifikat Masjid Baitul A’la itu sangat jelas, asal usul tanahnya dan luasnya lebih kurang 16.280 meter.
“BPN itu, dimana saja dalam wilaya NKRI ini adalah pengukur batas, bukan menetapkan batas apa yang ditunjukan oleh pemohon,” ucap Buchori.
Menurut Buchori kebetulan Masjid Baitul A’la itu masuk dalam progran PTSL tidak melalui rutin. Selain itu, rutin pihaknya dalam 2019 lalu telah menyelasaikan 16 ribu lebih dan hampir 17 ribu kegiatan telah diselesaikan.
“Dalam kegiatan kita itu menghasilkan ke negera juga melalui PPH, pendaftaran pertama, BPHTB yang sudah opertarget yang diharapkn Pemda sebesar Rp 8.3 milyar pada 2019 lalu,” jelasnya.
Artinya terhadap Masjid Baitul A’la itu sudah sangat jelas, dan sertifikatnya sudah diberikan. Untuk terhadap para pendemo, mereka juga sudah jelas pada SK 1992 yaitu pinjam pakai kantor dan bangunan untuk dikelolah.
“Ada empat poin dalam SK itu yang dikeluarkan pada tanggal 02 November 1992, persetujuan pemakaian gedung dan kantor komplek Masjid Baitul A’la kepada panitia STAIS,” terangnya.
Ditambahkan, negara yang baik itu adalah ada wilaya, ada pemerintahan dan ada rakyat. Kalau status mereka saat ini adalah pinjam pakai gedung dan kantor, kalau tanahnya tidak. Dan tanah itu milik Masjid Baitul A’la.
Koordinator aksi, Ngimadudin mengatakan dalam tuntutan mereka yakni berlarut-larutnya persoalan Lahan Baitul A’la lahan seluas 16. 280 M2 dan tidak ada keseriusan dari Stake Holder untuk menyelesaikan persoalan ini. Ditambah lagi hingga saat ini ada oknum yang mengaku memiliki sebagian lahan tersebut telah melakukan pembangunan dan pengusuran tanpa ada pencegahan dari pemerintah kota melalui dinas terkait.
“Jika terus dibiarkan hal ini sangat melukai keadilan masyarakat seolah-olah ada oknum yang kebal hukum, ditambah lagi adanya dugaan oknum BPN Kota Lubuklinggau yang “bermain” dalam penerbitan Sertifikat wakaf No. 00005. Padahal sangat jelas bahwa lahan seluas 16.280 M2 adalah lahan milik Negara yang tidak boleh diterbitkan sertifikat diatasnya,” kata Ngimadudin.
Untuk menyelesaikan persoalan ini pada 2 Oktober 2019 telah diadakan rapat koordinasi bertempat dikantor Walikota Lubuklinggau, yang dihadiri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah VII Sumsel, Walikota Lubuklinggau, Bupati Musi Rawas, Kejaksaan Negeri Lubuklinggau, Kapolres Lubuklinggau dan BPN Kota Lubuklinggau.
“Dan didapatlah kesimpulan bahwa status lahan Baitul A’la kembali ke Nol dan harus diselesaikan dalam jangka waktu 3 bulan. Namun pada realita dilapangan hingga hari ini pergurusan dan pembangunan terus dilakukan dan terus merasahkan masyarakat sekitar,” paparnya.
Mendesak DPRD Lubuklinggau berperan aktif menyikapi dan menyelesaika persoalan kompleks Baitul Ala secara cermat dan tepat. Lalu, Pemkot Lubuklinggau mengambil tindakan untuk segera menghentikan pembangunan dan penggusuran dilahan kompleks Baitul Ala. (dlt)